Kegelapan Hati
2 hari setelah kejadian itu, aku baru bisa masuk sekolah, dan selama 2 hari itu aku istirahat penuh di kamar asramaku.
Sore hari setelah kejadian kemunculan iblis. Di kamar asramaku.
“Kamu sudah tahu Safia?” tanya Dokter Dio.
“Iya, sudah Dok,” sahutku.
“Lalu, apa yang kamu lakukan saat itu terjadi?” tanya Dokter Dio.
“Biasanya orang tua saya memberikan saya suntikan, Dok,” jawabku.
“Tapi, terkadang juga saya biarkan Dok, kalau memang ga terlalu parah, dan yang keluar hanya sedikit saja,” lanjutku.
“Baguslah kalau kamu sudah tahu, tapi, jangan kamu biarkan kalau hal itu terjadi, bisa bahaya buat diri kamu sendiri Safia,” sahut Dokter Dio.
“Baik, Dok,” kataku.
“Lusa nanti, pagi-pagi, kamu pergi ke gedung olahraga untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, karena gedung UKS sedang diperbaiki akibat kejadian tadi siang, maka untuk sementara ruang UKS pindah ke gedung olahraga,” perintah Dokter Dio.
“Baik, Dok, terimakasih sudah merawat saya,” ucapku sambil tersenyum.
“Iya, sama-sama,” sahut Dokter Dio.
“Dan satu hal lagi, kalau kamu mengalami hal itu lagi, segera lah datang ke saya, agar bisa saya berikan pengobatan yang tepat,” kata Dokter Dio.
“Baik, Dok, terimakasih banyak sekali lagi,” kataku.
“Iya, udah kamu istirahat, saya permisi dulu,” kata Dokter Dio, kemudian ia pergi meninggalkan kamarku.
2 hari telah berlalu setelah kejadian itu, dan semenjak kejadian itu, aku menjadi sering melihat hal-hal gaib. Aku sendiri tidak tahu apa penyabab pastinya, tetapi, aku memikirkan 2 kemungkinan.
Pertama, karena kemunculan iblis itu.
Kedua, karena aku memasuki dunia paralel.
Aku pergi ke gedung olahraga pagi-pagi sekali, sekitar jam 5.47 pagi, karena ada tempat yang harus aku kunjungi sebelum pergi memasuki kelas. Pada jam segitu, Sandra dan Rina belum bangun, mereka memang begitu, selalu saja bangun siang, xixixi.
Letak gedung olahraga sedikit jauh dari gedung asrama, namun dekat dari gedung sekolah, dan tempatnya itu bersebelahan dengan komplek tempat ibadah, dan gedung olahraga berada di pojok, dan berhadapan dengan gedung lab.
Tok, tok, tok. Suara ku mengetuk salah satu pintu ruangan yang ada di gedung olahraga, yang ada nama ruangannya diatas pintu itu "Ruang UKS".
“Ya, masuk,” jawab seseorang dari dalam pintu itu. Kemudian aku masuk.
“Permisi, Dok,” kataku. Lalu aku langsung duduk di kursi di depannya.
“Awal sekali kamu datang kesini,” kata Dokter Dio.
“Iya, Dok, saya harus pergi ke suatu tempat setelah pemeriksaan kesehatan,” jawabku.
“Baiklah, kita mulai sekarang,” kata Dokter Dio.
“Pemeriksaan kesehatan ini bukan seperti medical check up, saya hanya akan mengambil sampel darah kamu, dan meneliti tentang penyakitmu,” ucap Dokter Dio.
Lalu ia mengambil sampel darahku dilengan kananku. Kemudian ia meneliti tetesan darah yang keluar dari bekas suntikan itu. Setelah 1 menit berlalu, ia memberikan ku suntikan lagi, dan darah yang keluar perlahan semakin sedikit dan kemudian berhenti.
“Baiklah, sudah selesai, kamu bisa mengambil hasilnya nanti sore setelah pulang sekolah,” kata Dokter Dio setelah menutup bekas suntikan itu dengan kapas dan memlesternya.
“Baik, Dok, terimakasih, saya permisi dulu,” kata ku, lalu aku keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju pintu gedung olahraga dan kemudian keluar.
“Matahari belum sepenuhnya terbit, masih belum terlambat kan?” kataku sambil melihat langit. Lalu aku sedikit berlari ke taman sekolah, yang letaknya di depan gedung sekolah. Kemudian aku masuk ke dalam rumah kaca.
“Indah sekali anggrek putih ini,” kataku sambil memandangi anggrek putih itu.
“Selamat pagi anggrek,” ucapku pada anggrek. Memang terdengar sedikit aneh kalau berbicara dengan tanaman, tapi aku suka.
Kemudian aku mengambil penyiram tanaman atau gembor, dan menyiram tanaman anggrek putih itu. Walaupun banyak jenis anggrek disini, dan banyak juga warnanya, tapi aku tertarik dengan anggrek putih ini dengan warna pink ditengahnya.
Dan tidak lupa juga aku memberi catatan di dekat tanaman anggrek putih ini untuk petugas kebun yang mengurus rumah kaca,
"TANAMAN INI SUDAH DISIRAM"
Karena pemberian air pada tanaman anggrek tidak boleh berlebihan.
“Sekarang udah jam 6 lewat 25, aku pergi sekolah dulu ya anggrek, nanti sore setelah aku mengambil hasil tes dari Dokter Dio, aku akan mampir lagi kesini,” ucapku, lalu aku keluar dari rumah kaca dan pergi menuju gedung sekolah.
Sebelum ke kelas, aku pergi ke ruang UKS yang hancur karna iblis itu tempo hari.
“Aku heran, apa yang orang katakan dengan hancurnya ruang UKS ini,” kataku dalam hati. Setelah selesai melihat-lihat ruang UKS dari luar yang sedang diperbaiki itu, aku pergi ke kelas ku.
Saat aku melewati ruang guru, aku tidak sengaja menabrak salah seorang guru, Pak Adi, guru geografi.
“Maaf, Pak, saya ga sengaja,” kataku, sambil merapihkan kertas yang berserakan karena aku menabraknya.
“Iya gapapa, makasih ya, Nak,” kata Pak Adi sambil menerima kertas yang aku kumpulkan.
“Sekali lagi saya minta maaf, Pak,” ucapku.
“Iya, ga apa-apa kok, tapi, kenapa kamu datang awal sekali?” tanya Pak Adi.
“Ah, saya mau datang lebih awal saja pak,” sahutku sambil tersenyum.
“Ahh, kebetulan juga nih, kamu bisa bantu bapak kan? Tolong bawain laptop bapak ke ruang kelas 10 IPS 4 ya, Nak,” kata Pak Adi sambil menyodorkan laptopnya.
“Baik, Pak, tapi, saya ga tau pak, kelas 10 IPS 4 itu dimana,” kataku. Lalu aku melihat Rafa yang sedang menuju kemari, dan memandanginya. Sambil Pak Adi menjelaskan dimana letak kelas 10 IPS 4.
“Kamu naik tangga aja di depan toilet sini, nanti kamu belok kiri, disitu ada banyak ruangan, nah nanti ada plang di pintu kelas 10 IPS 4,” jelas Pak Adi, saat Rafa melewati kami, ia tidak menoleh ke arah ku sama sekali, aku ingin memanggil namanya, namun bibirku beku, tidak bisa kugerakkan, aku, aku takut, kalau aku memanggilnya, itu bisa mengganggunya, karena ia terlihat, seperti moodnya sedang tidak bagus.
“Baik, pak, akan saya antarkan,” kataku. Lalu aku menuju keatas.
Saat aku menghampiri kelas yang ada plang 10 IPS 4 nya, aku mendengar suara dari dalam kelas itu.
AUTHOR POV
“Sayang, kok kamu lama banget sih datangnyaa,” ucap perempuan di dalam kelas.
“Iya maaf ya, semalem aku tidur larut,” ucap Rafa.
“Ehh? Kenapa? Kamu jangan tidur larut lagi yaa, nanti kamu sakit, aku gamau kamu sakit, nanti Rafa sayang aku sakit lagi,” sahut perempuan itu sambil memeluk Rafa dari belakang.
“Iya, iya, ga lagi,” sahut Rafa sambil melepaskan tangan perempuan.
Pada saat yang sama, Safia sedang berada di depan pintu kelas itu, dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Rafa, kamu mau main sama aku ga?” tanya perempuan itu.
“Boleh, akan aku ladeni kamu cantik,” sahut Rafa sambil membelai rambutnya, dan menyisipkannya ke belakang telinga. Safia melihat kejadian itu, dan meremas dadanya kuat-kuat.
Ia merasa dadanya sangat sesak, sampai tak bisa bernafas.
“Kenapa ini, kenapa dada aku rasanya sesak sekali,” kata Safia dalam hati.
“Harusnya aku senang dong, kalo Raen, alias Rafa, teman masa kecilku, memiliki seorang pacar,” lanjutnya dalam hati.
“Tapi kenapa rasanya sesak sekali melihat mereka berdua bermesraan,” tanya Safia dalam hati, kemudian ia meneteskan air mata.
Kemudian, ada salah seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya, dan Safia menghentikan laki-laki itu, dan mengusap air matanya
“Ah, maaf, tapi, bisakah kamu menaruh laptop Pak Adi dikelas 10 IPS 4?” tanya Safia pada laki-laki itu.
“Loh, 10 IPS 4 kan di depan kamu pisan,” jawab laki-laki itu, sambil menunjuk kearah ruang kelas didepannya.
“Maaf, aku gabisa, aku harus pergi, kumohon” kata Safia sambil menyodorkan laptop Pak Adi, dan berlari menuju ujung dan menuruni tangga.
“Aneh,” kata laki-laki itu dan masuk kedalam kelas.
Rafa melihat Safia yang berlari di depan kelasnya, dan segera berlari keluar. Dan saat ia keluar, Safia sudah tidak ada.
Perempuan itu menghampiri Rafa dan memegang lengannya.
“Rafa, kamu kenapa tiba-tiba lari? Masuk ke kelas yu, kita main lagi, hihihi,” kata perempuan itu, dan kemudian mereka masuk kedalam.
SAFIA POV
Setelah aku melihat mereka berdua bermesraan, aku ga kuat lagi, aku langsung memberikan laptop Pak Adi ke salah satu murid, dan kemudian berlari menuruni tangga, dan akhirnya aku berakhir di perpustakaan.
Aku tidak tahu mengapa aku berlari ke arah perpustakaan, tapi kalau dipikir-pikir lagi, perpustakaan adalah tempat yang cocok untuk menyendiri. Aku butuh waktu untuk mencerna semua kejadian tadi.
Saat aku masuk kedalam perpustakaan, tidak ada orang disana.
“Syukur deh, ga ada orang disini,” kataku, sambil menghela nafas.
“Kata siapa ga ada orang disini?” sahut seseorang. Aku terkejut, ada yang menanggapi perkataan ku, apa jangan-jangan, iblis? Roh gentayangan? Ahkhhh, memikirkannya membuat badan ku merinding.
Aku ingin tahu, siapa yang telah menanggapi perkataan ku.
Aku memberanikan diriku untuk berjalan ke setiap rak buku di perpustakaan ini, dan aku menemukan seseorang yang sedang memegang buku sambil membuka setiap halaman dibuku itu. Lalu mencium halaman itu.
“Ewww,” kataku dalam hati, aku terkejut dengan yang dilakukan oleh orang itu, menjijikan sekali. Lalu aku berjalan mendekati orang itu. Sekitar 5 meter jarak antara aku dan dia, tiba-tiba dia menengok ke arahku.
“Rivan!?” tanyaku yang heran.
“Loh, Safia disini, kukira siapa tadi,” sahutnya, dan kemudian mencium kembali buku yang dia pegang.
“Ihh, apa yang kamu lakukan Rivan?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Kamu sendiri ngapain disini? Ini masih pagi, kelas dimulai jam 8 kan,” sahutnya.
“Aku sih ga sengaja kesini,” jawabku.
“Eh bentar, kan aku duluan yang nanya, kenapa jadi aku yang jawab duluan,” sahutku dengan nada sedikit kesal.
“Ahahaha,” tawanya.
“Kamu ini ya Safia, benar-benar lucu, gampang banget di kerjain, hahaha” sahutnya, aku mendengarnya itu sedikit kesal tapi aku ikut tertawa.
“Terus, kamu ngapain disini? Pake nyium nyium buku segala,” kataku sambil menunjuk buku yang ia pegang.
“Hem, gimana ya, aku disini lagi nyari buku tua, buat aku cium,” sahutnya.
“Hahh??” sahutku yang terkejut.
“Jangan aneh ya, tapi buku tua itu enak bau nya tau, coba nih kamu cium,” kata Rivan sambil menyodorkan buku yang ada ditangannya. Dengan segera aku menolaknya.
“Ga, Rivan, aku ga suka, baunya ga enak,” kataku, padahal aku belum menciumnya, tapi memikirkannya saja aku sudah tahu baunya.
Lalu aku berjalan-jalan mencari beberapa buku yang terlihat menarik untuk aku baca.
Tapi seketika, perasaanku sangat tidak enak, perasaan yang sama ketika aku berada di kamar mandi disamping kelas, ketika aku dihantui oleh wanita itu.
Aku melihat sekitar, tetapi aku tidak menemukan apapun, lalu aku melihat kebelakang ke arah Rivan berada, aku melihat sesosok hantu yang sangat besar, dan hitam, tangannya ingin meraih Rivan. Tangannya itu sangatlah besar, dan kukunya juga sangat panjang dan tajam, dengan segera aku berlari ke arah Rivan dan menariknya.
“Rivan, AWASS!” teriakku.
Tetapi, ketika aku menariknya, aku terpeleset dan menimpa Rivan.
“Aww,” lirih Rivan sambil mengusap kepalanya yang terbentur lantai.
“Ah, Rivan, aku minta maaf mengagetkan kamu, tadi ada buku yang mau jatuh dari atas,” kataku.
“Ah iya Safia, terimakasih ya,” sahutnya.
“Tapi, bisakah kamu bangun? Kamu menimpa badanku,” lanjutnya. Saat aku tersadar aku berada diatas badannya, aku kaget, dan langsung berdiri.
“Maaf ya Rivan, aku ga sengajaaa, sekali lagi aku minta maaf,” kataku sambil menunduk.
“Iyaa Safia, tadi kan kecelakaan, jadi wajar,” sahutnya.
Lalu aku mengambil salah satu buku yang terlihat tua sekali, dan membacanya di meja.
Rivan pun mengikutiku, dan membaca disamping ku.
“Safia,” panggil Rivan.
“Iya?” sahutku.
“Kondisi kamu gimana? Udah sehat?” tanyanya.
“Iya Rivan, aku udah sehatan, terimakasih ya udah nanyain kondisi aku,” sahutku.
“Kami sekelas menjengukmu malam hari setelah kejadian itu, tetapi kamu tertidur pulas,” katanya.
“Tetapi, keesokkannya, aku ingin menjengukmu secara pribadi, tapi ga di ijinin, soalnya cowo ga boleh masuk ke asrama cewe,” lanjutnya.
“Hahaha, kasian banget sih kamu Rivan,” goda ku.
“Hufft,” sahutnya yang menghela nafas.
“Tapi gapapa, sekarang aku udah masuk sekolah, dan kamu bisa melihatku sepuasmu hahahaha,” kataku sambil tertawa. Tetapi Rivan malah memalingkan wajahnya. Aku heran, kenapa dia begitu.
Beberapa menit yang penuh keheningan.
“Safia, kamu lagi sedih?” tanya Rivan yang tiba-tiba.
“Eh? Enggak ah, aku ga lagi sedih,” sahutku yang terkejut.
“Gak, kamu lagi sedih, aku tahu itu, muka mu yang menjelaskan semuanya, jadi kamu gabisa mengelak,” katanya.
“Iya iya deh, penilaian ketua kelas memang berbeda ya,” sahutku.
“Jadi, kamu lagi ada masalah apa?” tanya nya.
“Yah, hanya sesuatu yang mengganjal dihatiku, dan itu membuat hatiku sangat sesak,” kataku sambil meremas dadaku.
“Ceritakanlah padaku, dengan bercerita, itu akan membuat beban dihatimu sedikit berkurang, percayalah,” katanya.
Lalu aku menceritakan kejadian saat aku berada di depan kelas 10 IPS 4, yang dimana aku melihat Rafa sedang bermesraan dengan wanita lain. Aku mengakui, bahwa wanita itu jauh lebih cantik ketimbang diriku. Jadi wajar saja, kalau Rafa berpacaran dengannya.
“Jadi, kamu punya perasaan cinta kepadanya?” tanya Rivan.
“Aku tidak tahu perasaan apa yang aku punya, tapi melihatnya dengan wanita lain membuat dadaku terasa sesak, seharusnya aku bahagia, teman masa kecilku memiliki kebahagiaannya sendiri,” kataku sambil meneteskan air mata. Rivan hanya diam dan tidak mengatakan apapun.
Saat jam 7.45 kami pun ke kelas. Saat aku masuk kedalam kelas, semua teman sekelasku menghampiriku. Mereka semua khawatir dengan diriku. Mengingat kejadian 2 hari yang lalu. Mereka beranggapan kejadian itu disebabkan oleh pergerakan tanah yang tiba-tiba. Dan mereka mengira kalau aku telah tertimpa reruntuhan dari bangunan UKS yang telah hancur itu. Dan aku meyakinkan mereka semua kalau aku telah selamat dari reruntuhan itu. Tetapi mereka tidak percaya, dan mereka mengatakan kalau banyak darah yang keluar dari tangan kananku.
Anak perempuan dikelas juga banyak bertanya kepadaku, terutama pertanyaan tentang Rafa, mereka menanyakan hubungan ku dengan dia, dan siapa dia, aku menjawab kalau kami hanya berteman dan tidak memiliki hubungan apa-apa. Mereka juga menanyakan nomor teleponnya, tetapi aku hanya menggeleng yang artinya aku tidak memilikinya.
Tiba-tiba, salah satu anak laki-laki dikelasku menarik tanganku dan memberiku sebuah kertas yang dilipat,
“Ini buat kamu Safia, dari seseorang, tapi aku gatau siapa dia,” katanya. Lalu aku menerimanya, dan berjalan menuju tempat dudukku.
‘Temui aku di rumah kaca jam 12 siang’
tulisan yang ada di kertas itu, aku bertanya tanya, siapa yang telah menulis ini. Sepanjang pelajaran bahasa Indonesia, aku terus memikirkan siapa yang telah menulis dikertas ini sampai jam istirahat berbunyi.
“Safia, ke kantin bareng yu,” ajak Sandra.
“Iya nih Fi, kita kangen banget sama kamu,” kata Rina, dan mereka berdua menggenggam tanganku. Bagaimana ini, temanku mengajakku makan bersama, tetapi aku harus bertemu dengan seseorang yang telah menulis dikertas itu.
Aku tersenyum pada mereka dan berkata,
“Ayo.”
To Be Continued...
Please Leave Your Comment
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini untuk membantu Ailee Chan dalam meningkatkan kualitas cerpen dan blog (◍•á´—•◍)