Kegelapan Hati
Saat aku dikantin, dan makan siang bersama Sandra dan Rina, aku tidak menyentuh nasiku sama sekali. Pikiranku tertuju pada siapa yang telah menulis pesan di kertas itu.
“Fia, kok kamu ga makan sih,” kata Rina.
“Iya Fi, kenapa ga dimakan makanannya?” tanya Sandra.
“Ah, gapapa, aku lagi ga nafsu makan aja,”
sahutku.
“Fi, aku minta ayam filletnya yaa,” kata Rina.
“Ah, iya nih,” kataku dan memberinya ayam fillet ku.
“Terimakasih,” kata Rina.
“Hey Rina, itu kan jatahnya Safia, kamu udah punya juga,” omel Sandra.
“Udah gapapa San, kalau dia mau ya aku kasih, ehehe,” kataku sambil tertawa. Kemudian mereka ribut dan aku sangat gembira bisa melihat hal ini lagi, karena akhir-akhir ini aku menghabiskan waktuku hanya untuk diriku sendiri.
“Kalian berdua lucu ya, hahaha,” kataku sambil tertawa. Seketika mereka diam dan ikut tertawa bersama ku. Dengan tertawa bersama mereka, pikiranku terhadap pesan dikertas itu sedikit berkurang. Kemudian aku memakan makan siangku, walaupun hanya sedikit saja yang aku makan.
“San, Rin, aku duluan ya,” kataku, lalu aku berdiri dan pergi dari kantin.
“Siapa ya kira-kira yang mengirim pesan itu,” kataku dalam hati sambil berjalan ke arah rumah kaca. Aku merasa seperti ada yang mengikutiku dari belakang, apa mungkin Sandra dan Rina? Tetapi kalau mereka tidak mungkin deh, mereka orangnya gasuka ikut campur urusan orang lain.
Lalu aku masuk kedalam rumah kaca. Disana tidak ada siapapun.
“Apa mungkin dia sudah pergi? Karena menungguku terlalu lama?” tanyaku.
“Ya, kamu lama banget Safia,” kata seseorang dari belakang ku. Dan aku langsung berbalik.
“Ternyata kamu yang nulis pesan di kertas itu Rafa?” kataku.
“Iya,” sahutnya. Kemudian ia berjalan melewati ku, dan aku mengikutinya, dan berhenti salah satu komplek bunga.
“Anggrek putih ini, atau moon orchid, bunga yang kamu suka kan?” tanya nya.
“Kalau iya kenapa?” tanya ku dengan nada tegas.
“Cantik dan indah sama seperti yang sering menyiram bunga ini pagi-pagi sekali,” katanya.
‘Tunggu sebentar, yang nyiram pagi-pagi? Maksudnya itu aku? Darimana dia tau kalo aku suka nyiram tanaman anggrek putih ini pagi-pagi? Apa dia seorang penguntit? Ihh, menakutkan’ kataku dalam hati.
“Apa maksudmu? Dan kenapa kamu memanggil aku kesini?” tanyaku.
“Aku ga ada maksud apa-apa, aku cuma mau memuji kamu. Dan lagi, aku memanggilmu kesini karena aku ingin berbicara dengan kamu,” sahutnya.
“Katakanlah,” sahutku.
“Baiklah, apa hubungan mu dengan ketua kelas itu?” tanya nya dengan nada serius dan tatapan mata yang tajam.
“Aku ga ada hubungan apa-apa sama dia, kenapa emangnya?” tanyaku.
“Bohong, kalau kamu ga ada hubungan apa-apa kenapa kamu bisa ada diatas badannya?” tanyanya.
“Maksudmu yang di perpus?” sahutku.
“Iya,” jawabnya.
“Kalau aku jawab iya atau tidak memangnya apa hubungannya dengan kamu?” tanyaku. Kemudian ia terdiam.
“Baiklah kalau kamu ga mau jawab,” sahutnya. Kemudian ia mendekatiku, dan memelukku dengan erat.
“Lepaskan!” perintahku sambil melepaskan pelukannya itu
“Gak, sebelum kamu jawab yang jujur,” katanya. Aku pun mengerang kesakitan, karena pelukannya yang semakin erat.
“LEPASKAN!!!” teriakku, dan akhirnya tangannya terlepas. Lalu aku berjalan sedikit mundur menjauhinya.
“Berhenti menyakitiku,” kataku sambil meneteskan air mata.
“Cukup hatiku yang sakit karena melihat kamu bermesraan dengan dia, cukup hati ku saja!” teriakku.
“Apa maksudmu?” tanya nya.
“Tadi pagi, aku lewat kelas kamu, dan aku melihat kamu bermesraan dengan wanita itu, dan aku yakin pasti, kalau wanita itu pacar kamu,” sahutku.
“Tapi, tapi kenapa? Disaat kamu sudah punya pacar, kamu harus menggoda ku juga?” lanjutku.
“Aku tanya KENAPA!? Teriakku.
“Safia,” panggilnya, dan mendekatiku lagi.
“Jangan dekati aku, menjauhlah,” kataku.
“Kamu kayaknya salah paham,” sahutnya.
“Aku ga percaya!” sahutku.
“Fi,” ucapnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya, namun aku melepaskan genggamannya.
“Gimana rasanya ga dipercaya padahal kamu sudah mengatakan yang sebenarnya?” tanyaku.
“Itulah yang aku rasakan tadi, aku mengatakan yang sebenarnya tetapi kamu ga percaya!” lanjutku. Dia terdiam tanpa mengatakan sepatah kata.
“Dulu kamu pernah berjanji padaku, bahwa kamu tidak akan pernah menyakiti dan membuat ku menangis lagi. Tapi nyatanya apa? Sekarang kamu menyakiti aku,” kataku sambil menangis.
“Tunggu, kamu ini ngomong apa sih?” tanya nya.
“Aku ga pernah janji kayak gitu ke siapapun,” lanjutnya.
“Kamu pernah,” sahutku.
“Aku benci sama kamu RAEN!” teriakku.
“Jangan pernah berharap untuk bisa bicara dengan ku lagi,” lanjutku, dan aku berlari keluar dari rumah kaca itu.
“Aku benci kamu Raen, kamu berubah banyak, aku benci kamu,” kataku sambil berlari menuju gedung asrama, dan masuk ke dalam toilet. Aku menangis kencang disana.
“RAEN BODOH!” teriakku.
AUTHOR POV
Disaat yang sama, Rafa yang mendengar ucapan Safia hanya bisa terdiam, ia masih memikirkan apa yang Safia katakan padanya.
“Raen? Dia memanggilku Raen?” gumamnya.
“Tunggu, sepertinya dulu ada yang memanggilku seperti itu,” katanya. Dia mencoba untuk mengingat masa lalunya.
‘Kamu ga usah nangis Safia, aku udah menutup luka kamu, jadi kamu ga perlu takut lagi karena darahmu keluar, udah ya jangan nangis,’
‘Iya Raen,’
‘Raen? Siapa dia? Teman baru mu ya?’
‘Bukan, Raen itu kamu,’
‘Nama aku tuh Rafa Ravendra, Fi. Ga ada kata Raen di nama aku,’
‘Pokoknya aku mau manggil kamu itu Raen,’
...
‘Raen, bunga ini cantik banget,’
‘Iya Sapi,’
‘Ih kok manggil aku Sapi,’
...
‘Raen kamu jahat, kamu nyakitin aku,’
‘Aku ga ngapa-ngapain kamu,’
‘Kamu metik bunga kesayanganku, sama aja kamu nyakitin aku, huwaaa,’
‘Jangan nangis Sapi, maaf deh, ga lagi aku nyakitin kamu,’
‘Janji ya? Kamu ga akan nyakitin aku dan buat aku nangis lagi?’
‘Iya, aku janji,’
...
‘Sapi, aku sayang sama Sapi, janji bersama terus ya Sapi,’
‘Iya Raen’
“Sapi!!!” Rafa terkejut, ternyata Safia yang dihadapannya ini adalah orang yang ia nanti-nanti kehadirannya kembali.
“Kenapa aku ga sadar sih selama ini, dasar bodoh!” katanya.
Dengan segera ia berlari keluar dari rumah kaca dan mengejar Safia, berharap Safia belum jauh. Tapi dia tidak melihat Safia dimana-mana. Ia memutuskan untuk mencarinya di segala tempat.
Disamping itu, Safia yang sedang menangis di toilet asrama, dihampiri oleh sesosok makhluk hitam besar, dialah makhluk penguasa hati, makhluk kegelapan, makhluk yang menguasai hati ketika gelap, alias makhluk kegelapan hati.
“Putri Chalanta Céleste Aimee, lihatlah dirimu di cermin itu,” kata makhluk hitam itu, dia bersuara seperti perempuan. Safia terhipnotis ketika ia mendengar suara perempuan itu.
“Lihatlah dirimu,” perintah makhluk hitam itu. Kemudian Safia melihat dirinya di cermin.
“Kenapa ada lingkaran hitam di dadaku?” tanya Safia sambil memegang dada sebelah kirinya. Lingkaran hitam itu seperti lumpur ketika ia pegang, Safia berusaha untuk membersihkan lingkaran hitam itu.
“Itu adalah bagian dirimu Putri Chalanta Céleste Aimee,” kata makhluk.
“Terimalah ia menjadi bagian dari dirimu,” lanjutnya.
Safia terdiam tidak mengatakan apapun.
“Sekarang, kamu keluar,” kata makhluk hitam itu. Kemudian Safia keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah dapur. Pada saat yang sama, Rivan yang mengikuti Safia kehilangan jejaknya Safia.
“Safia kemanain sih. Tadi kayaknya dia lari ke dalem asrama, coba aku masuk ke dalam asrama,” kata Rivan, dan ia memasuki lobby asrama dan mencari Safia.
Safia yang telah berada di dapur, mendapatkan perintah lagi dari makhluk hitam itu.
“Ambil pisau itu, dan sayatkan ke pergelangan tanganmu,” ucap makhluk hitam itu.
Safia hanya terdiam dan melaksanakan perintah makhluk hitam itu tanpa memberontak, dirinya benar-benar sudah dikuasai oleh makhluk itu.
Lalu ia mengambil pisau, dan menyayatkannya ke pergelangan tangannya.
“Bagus, Putri Chalanta Céleste Aimee, setelah aku mencicipi darahmu, maka aku akan menjadi yang terkuat, hahahahaha,” kata si makhluk hitam itu.
Rivan yang telah menemukan Safia yang berada di dapur segera menghampirinya. Dan ketika Rivan melihat Safia yang menyayatkan pisau ke pergelangan tangannya segera menghentikannya.
“Cih, dasar manusia pengganggu!” kata makhluk hitam itu dan kemudian mengeluarkan cambuk dan mencabuk Rivan, namun cambuk itu hancur ketika akan menyentuh Rivan. Kemudian makhluk itu mencoba berkali-kali dangan hasil yang sama.
“Siapa kamu sebenarnya!” teriak makhluk hitam itu, dan ia pergi entah kemana.
“Safia, sadar Safia!” teriak Rivan untuk menyadarkan Safia. Lalu Safia langsung tersadar dari hipnotis makhluk hitam itu.
“Wahhhh,” teriak Safia yang kaget ketika ia melihat darah di pergelangan tangannya.
“Kamu kenapa sih? Mau bunuh diri!?” kata Rivan.
“Itu sekarang ga penting Rivan, tolong ambilkan aku handuk untuk mengelap darah yang berceceran di lantai,” pinta Safia. Dan dengan segera Rivan mengambil handuk di atas meja, dan mengelap darah yang berceceran. Disaat yang sama, banyak iblis yang mengincar tetesan darah Safia. Safia yang melihat iblis-iblis itu mendekat, dengan segera menatap mereka dengan tatapan yang sangat tajam, dan ketika iblis itu menatap Safia, mereka berubah menjadi abu.
“Safia! Matamu ngeluarin darah itu!” teriak Rivan yang panik melihat darah yang keluar dari mata Safia. Namun Safia hanya diam tak berkata sedikit pun.
Semakin banyak darah yang keluar, semakin banyak iblis yang berdatangan. Bagi para iblis, darah Safia bagaikan magnet, karena hanya mencicipi 1 tetes saja, itu bisa memberikan mereka kekuatan 10 kali lebih kuat. Namun beda cerita lagi, kalau Safia dengan sukarela memberikan darahnya, kekuatan yang diberikan dari darah Safia menjadi 100 kali lebih kuat.
“AHHH!” teriak Safia ketika banyak iblis yang mengerumuninya, dan saat ia berteriak muncul lah tabir pelindung, itu seperti perisai yang melindungi mereka berdua. Safia masih belum tahu, darimana tabir pelindung ini berasal.
“Kamu jangan panik Fi, udah ada aku yang nolongin kamu,” kata Rivan ketika mendengar Safia berteriak. Rivan tidak tahu apa yang telah dilihat Safia, karena Rivan tidak memiliki kekuatan batin.
“Ini udah aku elap Fi, terus apa?” tanya Rivan.
“Bawa handuk itu, dan bawa aku juga ke gedung olahraga untuk ketemu Dokter Dio,” perintah Safia.
“Baiklah,” sahut Rivan, dan kemudian Rivan menggendong Safia, berlari menuju gedung olahraga. Tabir pelindung itu senantiasa melindungi mereka.
Semakin mereka berada di ruang terbuka, semakin banyak iblis yang berdatangan yang mengincar darahnya Safia. Dan saat itu, Safia menggunakan matanya untuk menghancurkan iblis yang menghalangi jalannya. Semakin banyak pula darah yang keluar dari matanya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku ini,” kata Safia dalam hati.
Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa melakukan hal itu, saat ia melihat iblis, iblis itu langsung lenyap menjadi abu.
Dan mereka sampai di gedung olahraga, dan bertemu dengan Dokter Dio di dalam ruang UKS. Dokter Dio yang melihat tabir pelindung itu segera menghentikan mereka berdua.
“Kalian berdua, berhenti disitu!” teriak Dokter Dio.
“Loh, kenapa Dok? Safia kehilangan banyak darah,” sahut Rivan.
“Kalian belum buka sepatu, lantainya jadi kotor tuh,” kata Dokter Dio yang mengalihkan pembicaraan. Tetapi mereka menuruti kata Dokter Dio dan melepaskan sepatu yang mereka pakai.
“Safia, kamu tenang dulu, jangan terbawa emosi, jangan biarkan dirimu dikendalikan oleh amarahmu sendiri,” kata Dokter Dio. Safia yang mendengar ucapan Dokter Dio perlahan mulai tenang dan perlahan tabir pelindung itu memudar, dan menghilang. Dan saat itu menghilang, Safia kehilangan kesadarannya, dan segera ditangani oleh Dokter Dio.
“Yaps, anak pintar,” gumam Dokter Dio sambil mengelus kepala Safia.
Rivan kembali ke kelas atas perintah Dokter Dio. Dokter Dio mengatakan pada Rivan kalau Safia akan berada di bawah pengawasannya. Ia juga mengatakan kalau Rivan tidak perlu khawatir, dan lebih baik untuk kembali ke kelas dan memberitahu wali kelas dan guru piket tentang keadaan Safia.
Kemudian Rivan kembali menuju ke kelas dan bertemu dengan Pak Sastro di depan ruang guru dan memberitahunya tentang kondisi Safia.
“Pak Sastro, Safia ga masuk kelas lagi, tadi dia pingsan, sepertinya kondisinya masih belum stabil,” kata Rivan.
“Kasihan sekali Safia, pasti dia masih trauma karena kejadian kemarin yang telah menimpanya,” sahut Pak Sastro.
“Iya Pak, tadi saat ia pingsan langsung saya bawa ke Dokter Dio, Dokter Dio juga mengatakan kalau Safia akan berada di bawah pengawasannya,” kata Rivan.
“Oh, yasudah, bagus kalau begitu, kita hanya bisa bergantung pada Dokter Dio untuk masalah Safia, semoga dia cepat sembuh, dan cepat kembali bersekolah,” sahut Pak Sastro.
“Iya Pak,” kata Rivan.
“Baiklah Rivan, terimakasih sudah mengabari saya,” kata Pak Sastro.
“Iya Pak, sama-sama,” sahut Rivan. Kemudian Rivan kembali ke kelas, dan mengikuti pelajaran, sedangkan Pak Sastro ke guru piket untuk memberitahu bahwa Safia tidak bisa mengikuti pelajaran lagi untuk hari ini karena kondisinya.
Satu hal yang harus kalian tahu, Rivan tidak benar-benar menceritakan kejadian yang sebenarnya, entah Rivan menutupinya, atau ingatannya benar-benar telah diutak-atik.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini untuk membantu Ailee Chan dalam meningkatkan kualitas cerpen dan blog (◍•ᴗ•◍)