Kamu Adalah...
Di pagi hari, saat jam pelajaran olahraga. Kelasku sedang belajar bermain bola basket. Setelah itu, satu persatu siswa melakukan pengambilan nilai tentang bola basket, mulai dari dribbling bola, chest pass, head pass, dan lay shoot. Setengah jam kemudian semua siswa telah selesai melaksanakan pengambilan nilai, dan jam olahraga masih ada 2 jam lagi.
Ada sebagian yang bermain basket, menonton yang bermain basket, kembali ke kelas, dan ada yang ke kantin untuk menghabiskan sisa waktu jam pelajaran olahraga.
Aku, Sandra, dan Rina sedang beristirahat sambil menonton teman-teman yang bermain basket. Aku yang merasa tenggorakan ku kering memutuskan untuk kembali ke kelas dan minum air disana.
“San, Rin, aku mau ke kelas, haus banget nih,” ucapku pada mereka.
“Oke, hati-hati yaa,” sahut mereka berdua. Jarak antara lapangan basket dengan kelasku bisa dibilang cukup jauh ‘Huh, cape banget deh kalo jauh begini jarak ke kelas’ ocehku dalam hati.
“AWASSS,” teriak seseorang, dan aku langsung menoleh, tiba-tiba kepalaku terkena bola basket. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku bangun, aku melihat sekitar, disana ada Rina, dan Sandra, dan ada seorang laki-laki, aku membuka mataku dengan jelas untuk melihat siapa laki-laki itu. Ternyata dia adalah ketua kelas.
“Fia udah sadar San,” kata Rina.
“Fi, kamu gapapa?” tanya Sandra. Mereka berdua terlihat panik.
“Aku gapapa kok, dimana aku?” kataku.
“Kamu di ruang UKS,” sahut ketua kelas.
“Kepala kamu gimana? Masih sakit?” tanya ketua kelas.
“Iya, masih sedikit puyeng,” sahutku.
“Apa yang udah terjadi emangnya?” tanyaku.
“Aku ga sengaja lempar bola basket ke arahmu, dan mengenai kepalamu, aku sungguh minta maaf,” kata ketua kelas. Dia namanya Rivan.
“Kamu sudah sadar?” tanya seseorang yang baru memasuki ruang UKS. Dia adalah dokter di sekolah ini. Dokter Dio.
“Iya, dok,” jawabku.
“Coba saya periksa dulu,” katanya, kemudian ia mulai memeriksa detak jantungku menggunakan stetoskop, memeriksa mata ku, dan kemudian memeriksa air infusanku. Aku tidak sadar kalau aku sedang di infus.
“Sepertinya kamu sudah membaik, tapi saya sarankan kamu untuk beristirahat dulu hari ini dan tidak usah mengikuti pelajaran, saya khawatir kondisi kamu makin memburuk, nanti akan saya buatkan surat keterangan, dan akan saya berikan ke petugas piket, dan juga wali kelasmu,” kata Dokter Dio.
“Baik, dok,” sahutku.
“Kalian ini teman-temannya ya?” tanya Dokter Dio pada mereka bertiga.
“Iya, dok, kami teman-temannya,” jawab Rivan.
“Saya ketua kelasnya,” lanjut Rivan.
“Oh kebetulan sekali, jadi nanti kamu saja ya yang mengantar surat keterangan ke petugas piket dan wali kelas kamu,” pinta Dokter Dio.
“Baik dok,” sahut Rivan. Lalu Dokter Dio membuatkan surat keterangan itu dan memberikan kepada Rivan untuk diantarkan ke meja piket dan wali kelas.
“Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu ya,” kata Dokter Dio, dan ia meninggalkan ruang UKS.
“Kita juga pergi dulu ya Fi, dikit lagi pelajaran kimia mau dimulai,” kata Sandra.
“Iya Fi, kita kembali ke kelas ya, nanti sepulang sekolah kita jemput kamu kok,” kata Rina.
“Oke teman-teman, hati-hati ya,” ucapku. Dan mereka pun pergi dari ruang UKS.
“Fi, kalau aku temani kamu disini bagaimana? Aku merasa bersalah karena kejadian tadi yang membuatmu pingsan dan mimisan,” kata Rivan.
“Apa? Aku mimisan?” tanya ku.
“Iya Fi, jadi gimana? Boleh aku temani kamu disini?” tanya Rivan. Aku tidak percaya dengan jawaban Rivan kalau aku tadi sempat mimisan. Aku takut hal ini akan menjadi masalah bagiku.
“Ga usah Van, kamu ketua kelas, kelas membutuhkan kamu loh,” ucapku.
“Tapi Fi,” kata Rivan.
“Gapapa, aku bisa kok sendiri disini, kamu kembali ke kelas ya,” kataku.
“Baiklah, kamu istirahat ya, jangan banyak gerak,” kata Rivan. Kemudian ia meninggalkan ruang UKS.
Aku tak habis pikir kalau aku tadi mimisan, aku sempat teringat dengan apa yang dikatakan oleh kakekku saat aku masih kecil.
‘Safia, kamu harus berhati-hati, jangan sampai terluka, apalagi mengeluarkan darah. Itu akan menjadi masalah bagimu jika kamu berdarah. Diluar sana banyak orang jahat yang akan melakukan segala macam cara untuk bisa mendapatkan kamu, karna kamu dan darahmu, mereka sangat berharga’
Ketika aku sedang mengingat masa lalu, tiba-tiba ada yang menarik tirai pembatas. Aku kaget, karena aku yakin, di ruang UKS itu hanya ada aku seorang. Dan seseorang mucul dari balik tirai pembatas itu.
“Kamu kenapa?” tanya orang itu. Aku tidak tahu siapa orang yang sedang berbicara itu, karena aku menutup mataku. Tapi, sepertinya aku mengenal suaranya.
“Hei, kamu kenapa?” tanya orang itu sekali lagi. Lalu aku membuka mataku, ternyata dia.
“Kamu?” tanyaku.
“Iya aku, kenapa? Eh bentar, kok kamu malah balik nanya sih, jawab pertanyaan aku,” ucapnya.
“Iya, maaf ya, ehehe,” kataku sambil tertawa, aku suka dengan raut wajah yang ia buat ketika ia sedang terkejut, terasa manis untuk dilihat.
“Aku tadi kena bola basket,” kataku.
“Kamu kena bola basket? Tapi kok sampe diinfus?” tanya nya.
“Aku gak tahu, tadi sih temenku bilang, bolanya kena kepalaku, abis itu aku pingsan, dia juga bilang kalau aku mimisan. Tapi aku juga bingung kenapa sampe di infus,” kataku sambil mengangkat tangan kananku yang di infus itu.
“Oh jadi itu penyebabnya, wajar sih menurutku kalau di infus, itukan biar vitamin dan mineral yang ada di air infus bisa langsung diserap sama tubuh kamu, dan kamu bisa pulih lebih cepat,” katanya sambil mengambil tempat duduk dan duduk disamping kananku.
“Oh begitu. Eh iya, kamu selama 1 minggu ini kemana? Aku ga pernah liat kamu, di kelas, di asrama, di lapangan utama, atau di mana-mana,” kataku sambil bangun dan duduk.
“Ohh, jadi kamu merindukan aku ya? Iya kan?” tanya nya dengan senyum aneh di wajahnya itu. Aku kaget dengan apa yang ia ucapkan. Rindu? Apakah benar itu yang aku rasakan? Sepertinya tidak.
“Hah? Aku cuma penasaran aja kemana kamu selama 1 minggu ini,” sahut ku yang terkesan dingin, aku gamau kalah dari dia.
“Benarkah begitu? Apa kamu mau melanjutkan apa yang sempat tertunda 1 minggu yang lalu?” tanya nya. Aku tak paham apa yang ia maksud, melanjutkan apa yang sempat tertunda? Apa itu?
“Maksudmu?” tanyaku.
“Lab IPA,” sahutnya. Seketika aku teringat dengan kejadian itu, kejadian yang benar-benar membuat aku gugup, dan dadaku berdebar-debar.
“Kamu jangan berani-berani melakukan hal yang aneh-aneh kepada ku, atau aku teriak nih,” ancamku, aku tak mau kejadian itu terulang, ku tak mau.
“Hahahahaha, iya deh, aku bercanda,” sahutnya dengan tawa. Aku benar-benar tak paham dengan orang ini.
“Jadi, kamu kemana aja selama 1 minggu ini?” tanyaku.
“Ga kemana-mana tuh," jawabnya.
“Tapi kamu ga ada dimana-mana,” sahutku.
“Ohh, jadi kamu nyariin aku?” tanya nya.
“Ih engga, siapa juga yang nyariin,” sahutku, tapi memang kenyataannya seperti itu, aku nyariin dia, tapi aku gabisa ngomong jujur kepadanya, yang ada dia makin jadi kegeeran. Itu gaboleh terjadi kan?
“Hemm, benarkah begitu?” tanya nya.
“Ihh, kamu ya, makin lama ngobrol sama kamu makin bikin aku kesel,” sahut ku, aku langsung tiduran dan menarik selimutku, dan membalut diriku dengan selimut dan berpaling darinya.
“Hehehehe, maaf ya, aku kasih tau deh, 1 minggu ini aku beneran ga kemana-mana, tapi memang ada 1 tempat yang sering aku kunjungi akhir-akhir ini,” ucapnya.
“Dimana itu?” tanya ku tanpa membalikkan badanku.
“Kamunya madep kesini dulu dong, biar enak aku ngobrolnya,” sahutnya. Lalu aku membalikkan badanku.
“Nah, gitu dong. Tempat ini adalah tempat yang terlarang, yah, meskipun terlarang aku tetap harus memasukinya,” ucapnya. Aku hanya diam saja, aku males nanggepinnya lagi.
“Oh iya, keadaan kamu gimana setelah kejadian 1 minggu yang lalu? Setelah sosok wanita itu, apa kamu melihat makhluk yang lain lagi?” tanya nya.
“Hmm,” gumamku. Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaannya, mengingat apa yang sudah ia lakukan padaku sebelumnya.
“Hmm apa? Jawab dong,” ucapnya, seketika kepalaku menjadi sangat pusing, seperti diputar-putar.
“Aww,” lirihku sambil memegang kepalaku.
“Kamu kenapa? Pusing lagi?” tanya nya.
“Iya,” kataku.
“Aku panggilin dokter dulu ya,” katanya, dan ia langsung berlari keluar. Pandanganku semakin kabur, dan kemudian semuanya menjadi gelap.
“Aku dimana ini? Apa aku telah meninggal? Tapi masa sih meninggal gara-gara kegebok bola basket, kan ga lucu,” ucapku. Aku benar-benar tak tahu aku sedang dimana.
“Gelap banget ini, aku gabisa lihat sama sekali, eh, itu ada cahaya,” lalu aku berjalan menuju cahaya itu, kemudian aku melihat sesuatu diujung cahaya itu.
“Siapa anak perempuan yang lagi duduk di ayunan itu,” anak perempuan ini berada persis di depanku.
“Apakah aku sedang bermimpi?” pikirku.
“Hai de,” sapaku ke anak perempuan itu. Namun anak perempuan itu sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Aku mendengar kalau ia sedang menangis, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena ia sedang menunduk.
Aku mencoba mendekatinya dan memegang pundaknya, tapi tanganku melewati pundaknya itu, alias nembus, aku tidak bisa memegangnya. Berkali-kali aku mencoba tetap tidak bisa.
Lalu aku berjalan ke sisi depannya. Kemudian aku jongkok didepannya untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas.
“Muka anak perempuan ini mirip sama aku pas kecil,” kataku. Saat itu aku merasa aku pernah mengalami hal ini.
‘Ini seperti pernah terjadi saat aku kecil’, pikirku begitu.
Lalu aku melihat dengkul anak itu yang terluka, mungkin ia jatuh. Namun, gak lama kemudian, ada seorang anak laki-laki yang menghampirinya, dan memberinya hansaplas untuk menutup luka anak perempuan itu.
“Kamu ga usah nangis Safia, aku udah menutup luka kamu, jadi kamu ga perlu takut lagi karena darahmu keluar, udah ya jangan nangis,” ucap anak laki-laki itu. Aku terkejut, dia memanggil anak perempuan itu dengan nama ‘Safia’? Apakah ini masa lalu ku? Apakah anak perempuan itu aku saat kecil? Tapi aku tidak ingat kalau aku mengalami hal ini saat aku kecil.
“Iya ka, hiks, hiks,” ucap anak perempuan itu sambil menghentikan tangisnya.
“Kamu ya, kebiasaan banget manggil aku ka, panggil aja nama aku, Rafa, ga perlu ka, sini aku gemblok kamu, aku antar pulang,” kata anak laki-laki itu.
“Tunggu sebentar, Rafa? Siapa dia? Aku benar-benar tidak ingat akan hal ini,” kataku. Lalu anak perempuan itu naik ke atas punggung dan digemblok oleh anak laki-laki itu.
“Iya Raen,” kata anak perempuan itu. Ketika mereka pergi dari taman itu, aku pun mengikuti mereka.
“Raen? Siapa dia? Teman baru mu ya?” tanya anak laki-laki itu.
“Bukan, Raen itu kamu,” sahut anak perempuan.
“Nama aku tuh Rafa Ravendra, Fi. Ga ada kata Raen di nama aku,” ucap anak laki-laki itu.
“Ada, Raen, pokoknya aku mau manggil kamu itu Raen,” kata anak perempuan itu.
“Hahh? Kok gitu? Kenapa ga manggil Rafa aja, atau Raven, bisa kan?” sahut anak laki-laki itu.
“Kalo Rafa kan emang nama panggilan kamu, dan semua orang juga manggil kamu Rafa, aku mau manggil kamu Raen karna biar beda dari yang lain, eheheh,” kata anak perempuan itu sambil tertawa.
“Tapi ga Raen juga, aneh tahu,” sahut anak laki-laki itu.
“Gaboleh ya?” tanya anak perempuan itu dengan nada sedih.
“Boleh sih, tapi gimana ya, aneh aja,” jawab anak laki-laki itu.
“Ga aneh kok, lucu, xixixi,” sahut anak perempuan itu dan mencubit pipi anak laki-laki itu.
“Sakit, Fi. Kamu mah kebiasaan nyubit pipi mulu,” kata anak laki-laki itu dengan raut wajah malu-malu.
“Habisnya aku ga tahan sama muka kamu yang lucu dan manis itu, jadinya aku cubit deh, gemes banget ihhh,” sahut anak perempuan itu tanpa melepas cubitannya. Kemudian mereka sampai di satu rumah, rumah itu terlihat sudah tua, lalu ada seorang kakek-kakek yang keluar dari rumah itu.
“Rafa, Safia kenapa digendong?” tanya kakek itu. Aku tidak pernah melihat kakek ini sebelumnya, apa dia kakeknya anak laki-laki itu?
“Ini kek, tadi Safia jatuh pas kita main kejar-kejaran,” jawab anak laki-laki itu.
“Ohh begitu, Safia nangis ga?” tanya kakek ke anak perempuan itu.
“Engga kek, kan aku kuat, ehehe,” jawab anak peremuan itu.
“Bukankah ia tadi nangis?” kataku dalam hati.
“Bohong dia kek, tadi dia nangis, kenceng banget lagi,” sahut anak laki-laki itu, dan anak perempuan itu turun dari punggung anak laki-laki itu kemudian memukulnya. Dan mereka kejar-kejaran.
Tanpa sadar mereka berlari ke tengah jalanan. Dan ada sebuah mobil yang melaju kencang sekali menuju ke arah mereka, aku ingin menghentikan anak-anak itu, tetapi aku tidak bergerak, mau berteriak juga tidak bisa.
“Safia awasss!!!” teriak anak laki-laki itu. Anak perempuan itu terdiam dan berteriak ‘AHHHHH’. Anak laki-laki itu pun berlari dan mendorong anak perempuan itu, dan berteriaklah anak perempuan itu ‘RAENN!”
Lalu aku terbangun sambil berteriak ‘Awas’. Disana ada Dokter Dio dan laki-laki itu. Mereka kebingungan kenapa aku berteriak.
“Akhirnya kamu sadar juga,” kata Dokter Dio. Apa ini? Apa tadi itu mimpi? Dimana 2 anak kecil itu, apa yang terjadi selanjutnya? Aku kasihan dengan mereka, apakah mereka tertabrak mobil itu?
“Aww,” kataku sambil memegang kepalaku, itu sangatlah sakit.
“Sebaiknya kamu istirahat, jangan banyak bergerak dan jangan banyak pikiran, saya takut kalau kamu banyak pikiran nantinya sakitnya akan terus berlanjut, dan itu tidak baik bagi anak seusia kamu,” kata Dokter Dio.
“Baik dok,” sahut ku.
“Yaudah saya tinggal lagi ya, inget, istirahat,” ucap Dokter Dio.
“Baik dok, terimakasih Dok sudah merawat saya” sahutku.
“Kamu siapa? Dan ngapain disini?” tanya Dokter Dio pada laki-laki itu.
“Saya temannya Dok, saya disini mau jagain dia, takutnya dia butuh apa-apa,” sahut laki-laki itu.
“Oh begitu, yaudah, saya tinggal dulu ya, permisi,” kata Dokter Dio dan meninggalkan ruang UKS.
“Kamu kenapa teriak?” tanya laki-laki itu. Aku ingin cerita kepadanya tentang apa yang kulihat tadi, tapi sepertinya ga mungkin deh kalo cerita ke dia, aku aja gatau siapa namanya.
“Cuma mimpi buruk,” sahut ku.
“Kita belum kenalan, nama kamu siapa?” tanya nya.
“Nama aku Safia Azka Lestari, panggil aja Safia,” sahutku.
“Nama aku Rafa Ravendra, panggil aja Rafa, salam kenal ya Fia,” sahutnya sambil mengulurkan tangannya. Dan aku meraih tangannya dan kita berjabat tangan.
“Salam kenal juga Rafa,” sahut ku.
‘Tunggu sebentar deh, namanya Rafa Ravendra, sama seperti nama anak laki-laki di mimpi ku itu, apa mungkin anak laki-laki itu adalah orang yang ada didepan ku ini? Lalu anak perempuan itu, yang memiliki nama yang sama dengan diriku adalah aku? Jadi, dia adalah Raen? Raen teman kecilku?’ pikirku begitu.
“Kamu adalah....” tanya ku.
To be continued...
Please Leave Your Comment
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini untuk membantu Ailee Chan dalam meningkatkan kualitas cerpen dan blog (◍•ᴗ•◍)