Kemunculan Sosok Iblis
“Aku adalah?” tanya Rafa.
“Ehh, gajadi Fa,” sahut ku.
“Yang benar? Aku adalah apa Fi?” tanya nya dengan nada memaksa.
“Bener bukan apa-apa Fa, aku tadi mengingat sesuatu, tetapi kemudian aku lupa lagi, hahaha” sahutku sambil tertawa.
“Ku kira apa,” katanya
‘Ga mungkin kan, kalo aku langsung bilang kalo dia itu Raen? Lagipula aku harus memastikan kalau Rafa ini benar-benar Raen, teman masa kecilku. Aku sepertinya ingat, kalau Raen punya tanda lahir yang sedikit aneh di punggung kirinya. Tapi, bagaimana caranya agar aku bisa melihat punggung kirinya?’ pikirku sambil tangan kananku memegang daguku.
“Fi, kamu mau makan ga? Aku ambilin makan siang kamu dikantin ya,” kata Rafa.
“Eum, boleh deh, makasih ya Rafa, aku jadi ngerepotin kamu,” kataku sambil tersenyum.
“Gapapa, kita kan teman,” sahutnya.
“Ya Rafa, kita teman, teman masa kecil,” sahut ku dengan suara pelan ketika ia keluar dari ruangan UKS.
“Gimana ya caranya biar aku bisa ngeliat punggung kirinya?” tanyaku.
‘Rafa, bisakah kamu membuka bajumu?’ kataku dalam bayanganku.
“Ahh, ga mungkin kan aku bilang kayak gitu, nanti dia bisa mikir yang aneh-aneh tentang aku,” teriakku.
‘Rafa, aku ingin melihat punggungmu, maukah kamu menunjukkannya?” kataku dalam bayanganku lagi.
“Ahh, itu juga ga mungkin,” teriak ku.
“Frustasi aku memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk bisa melihat punggungnya,” kataku, dan tangan kananku memegang dagu ku.
Lalu Rafa datang membawa 2 nampan makan siang. Aku terkejut dengan kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
“Melihat punggung siapa?” tanya nya sambil menaruh 1 nampan di meja samping tempat tidur ku.
“Bukan siapa-siapa, ehehe,” sahutku sambil tertawa dan menggaruk-garuk kepala ku.
‘Dia ga denger semua yang tadi aku katakan kan? Iya kan?’ tanya ku dalam hati.
“Udah nih, kamu makan dulu, abis itu kamu istirahat,” katanya sambil menyodorkan nampan makan siang yang ada ditangannya itu. Kemudian aku menerima nampan itu.
“Terimakasih ya, Rafa,” ucapku.
“Iya, sama-sama,” sahutnya. Dan aku mulai memakan makan siangku. Ia juga memakan makan siangnya. Tak butuh waktu lama, aku segera menghabiskan makan siangku itu, begitu juga Rafa.
“Kamu udah selesai?” tanya nya. Entah mengapa, saat itu, aku mendengar suaranya begitu lembut sekali.
“Iya udah nih,” sahutku. Dan aku memberinya nampan makan siangku yang sudah habis itu.
“Yaudah, aku ke kantin lagi ya, mau balikin nampannya, nanti kasian ibu kantinnya nyariin nampannya, hahaha,” ucapnya sambil tertawa, dan aku pun ikut tertawa. Lalu Rafa pun pergi dari ruang UKS.
Saat ia keluar, aku memikirkan lagi sebuah cara agar aku bisa melihat punggung kirinya itu.
“Hahh, percuma, ga ada yang mungkin,” kataku, lalu aku kembali berbaring.
“Bosen banget, tidur aja deh, mumpung ga sekolah ini,” kataku sambil memejamkan mataku.
“Ga ada salahnya menikmati 1 hari yang tenang ini, tanpa ada pelajaran, tugas, ataupun praktek,” lanjutku, lalu aku tertidur.
Ketika aku terbangun, keadaan ruangan UKS gelap banget.
“Lampunya ga dinyalain ya?” tanya ku. Lalu aku melihat kearah jendela, disana terlihat langit malam yang indah dengan taburan bintang, dan bulan yang terlihat sangat jelas.
“Indah sekali langit malam hari ini,” kataku sambil membuka selimutku, tanpa sengaja aku menyenggol sesuatu, ternyata itu tangannya Rafa. Aku ingin membangunkannya, tapi sepertinya ia tidur pulas sekali. Lalu aku duduk sambil bersandar di bantalku.
Tiba-tiba, suasana di ruangan UKS itu menjadi mencekam, dan udaranya menjadi dingin sekali, padahal AC di ruangan ini derajatnya tidaklah begitu rendah.
“Apa ini perasaanku saja?” pikirku begitu.
Namun, aku merasakan hawa seorang pembunuh sedang berjalan ke arah ruangan ini. Lalu saat itu juga, aku bisa menggunakan penglihatan batinku. Aku melihat seorang pria bertubuh besar sedang berjalan kesini. Ia membawa sebuah kapak yang sangat besar sekali, dan itu terlihat sangatlah berat, ia menyeret-nyeret kapak nya itu dan sambil berkata seperti ini,
‘Darah...aku...ingin...darah...itu...makan...harus...makan’
Aku tidak mengerti apa yang ia katakan, darah? Makan? Maksudnya makan darah? Saat itu aku bergidik ketakutan, seluruh tubuhku tak bisa ku gerakkan karena saking takutnya. Aku ingin membangunkan Rafa, tapi aku tidak bisa, seolah-olah jarak antara aku dengan Rafa begitu jauh sekali, sampai aku tidak bisa meraih tangannya. Apa yang harus aku lakukan, aku begitu takut.
Suara langkah kaki pria besar itu semakin jelas terdengar dari dalam ruangan UKS ini.
“Brakk,” suara pintu yang di hancurkan oleh pria besar itu dengan kapaknya.
“Ancaman harus dibunuh!” teriaknya dengan suaranya yang menggelegar itu. Aku sangat terkejut dan ketakutan, dan aku menutup mataku. Saat aku buka kembali mataku, pria besar itu sudah tidak ada, mungkin ia sudah pergi, pikirku.
Saat aku menengok ke sebelah kanan, ada dia disana. Mukanya begitu dekat sekali, aku bisa melihat jelas mukanya yang sangat seram, buruk rupa, dan jelek. Matanya sangat menyeramkan, itu berwarna merah, dan terlihat seolah-olah ia akan copot kapan saja.
“Hai, putri, akhirnya ketemu, sudah lama tidak bertemu sejak saat itu, tapi maaf ya, aku harus membunuhmu kali ini,” katanya dengan suaranya yang seram itu, dan kemudian ia mengarahkan kapaknya itu ke arahku.
“AHHHH!” teriakku. Lalu aku terbangun dari tidur ku. Jantungku berdebar-debar, keringat mengucur deras dari keningku.
“Tadi itu apa? Apakah mimpi?” tanya ku dalam hati.
Rafa yang disampingku kaget melihatku yang bangun sambil berteriak itu.
“Kamu kenapa lagi Fi? Mimpi buruk lagi?” tanya nya. Lalu aku melihat sekitar, ini masih siang, dan aku melihat jam dinding, itu menunjukkan pukul 12.37, yang artinya aku baru tertidur selama 17 menit.
“Aku tadi mimpi buruk Fa, dan itu terlihat sangat nyata Fa, aku takut,” kataku lalu aku menangis, Rafa pun memelukku, dan membiarkan aku menangis di pundaknya.
“Aku takut itu akan benar-benar terjadi, bahkan memikirkannya saja sudah membuat ku takut, bagaimana ini Fa?” tanyaku sambil menangis.
“Coba kamu ceritakan bagaimana mimpimu itu, pelan-pelan saja,” kata Rafa, lalu aku menceritakan semua kejadian di mimpi itu.
Setelah aku menceritakan mimpiku, aku merasakan hawa itu lagi, hawa pembunuh yang berasal dari pria besar itu. Seluruh tubuh ku kaku, tidak bisa digerakkan karena ketakutan yang luar biasa kala itu.
“Kamu kenapa terdiam Fi?” tanya Rafa yang aneh melihat sikap ku itu.
“D..di...dia..datang...Fa,” kataku sambil terbata-bata, aku tidak bisa mengatakan kencang-kencang, aku takut pria besar itu mendengar apa yang aku katakan.
“Hufft,” keluh Rafa.
“Kau benar Safia, iblis tingkat menengah sedang menuju kemari, padahal aku ingin beristirahat, tapi harus bertarung dengan iblis itu,” lanjutnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan.
Iblis tingkat menengah? Aku belum pernah mendengar tentang hal itu. Lalu ia mengeluarkan pedangnya, pedangnya itu bukan pedang yang terakhir kali aku lihat, pedang yang sekarang sedikit berbeda, apakah ia mengasah kemampuannya dan meningkatkan pedangnya itu?
“Aku harus bagaimana ini, yang ia incar itu adalah aku, Rafa,” ucapku.
“Kamu berlindung dibelakang ku,” sahutnya dengan suara yang tenang. Aku tak tahu mengapa, ia bisa mengeluarkan suara setenang itu, apakah ia ingin membuatku tenang dengan suaranya itu?
“Engga Fa, kita harus pergi, iblis itu sangat kuat sekali,” kataku sambil mencabut infusan di tangan kananku. Dan darah pun muncrat kemana-mana dari tanganku yang bekas lubang infusan itu. Ingin sekali aku berteriak, karena itu sangatlah sakit, tapi aku harus menahannya agar iblis itu tidak mendengar apapun.
“Apa yang kamu lakukan Safia?” tanya Rafa, lalu ia melihat tanganku yang berlumuran darah itu. Dengan segera ia menggendongku dan melompat melewati jendela.
“Ini adalah ide yang gila Rafa!” teriakku saat kita akan melompat.
“Kamu yang gila Safia, mencabut jarum infusan dari tangan mu. Kamu sendiri yang bilang, kalau yang diincar itu adalah kamu. Dan dia tergerak oleh tetesan darahmu,” Kata Rafa. Setelah Rafa selesai ngomong, tembok ruang UKS itu hancur, dihancurkan oleh iblis itu menggunakan kapaknya.
Padahal ia hanya mengayunkan kapaknya itu dari atas ke bawah, namun kekuatannya begitu besar sekali. Dan kami pun mendarat dengan aman.
Seketika langit berubah menjadi malam, padahal ini masih jam 12.43, aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian kami berlari ke stadion olahraga yang persis berada di belakang sekolah.
“Tapi tetap saja, melompat dari lantai 2 itu ide yang sangat gila, tuh dia bisa ngancurin tembok dengan 1 serangan,” sahutku.
“Ini ga akan terjadi kalau kamu ga nyabut jarum infusan dari tanganmu,” kata Rafa, lalu aku terdiam.
‘Dia benar’ kataku dalam hati.
“Tapi aku ga tahu harus berbuat apa, aku takut banget,” ucapku.
“Kan aku udah bilang untuk berlindung di belakang ku kan?” sahutnya.
“Tapi, iblis itu kuat banget, Fa,” kataku.
“Kamu ngeremehin aku?” tanya nya.
“Bukan gitu maksudku,” sahutku. Aku heran, kenapa dia ga ngeluarin nada marah sama sekali ya? Lalu ia terdiam. Akhirnya kami pun sampai ke toilet yang letaknya paling ujung di stadion olahraga.
“Kok kita ke toilet sih?” tanya ku. Lalu kita masuk ke dalam toilet dan ia menurunkan aku dari pundaknya.
“Udah, kamu diem aja, sini aku bersihin dulu darah di tangan kamu,” katanya sambil meraih tangan kananku. Kemudian ia membersihkan tanganku di air mengalir dari keran di salah satu kamar mandi yang ada di toilet itu.
“Ugh, pelan-pelan, Fa. Sakittt,” ucapku dengan suara pelan sambil meremas pundaknya.
“Kamu gimana sih, tadi narik jarum infusan ga teriak kesakitan, tapi sekarang malah teriak kesakitan,” sahutnya dengan nada meledek.
“Sebenarnya sakit tahu, tapi aku menahannya, biar iblis itu ga ngedenger apa-apa,” sahutku.
“Fi, pendarahannya ga mau berhenti, sepertinya butuh waktu agak lama ya buat darahmu membeku,” katanya. Aku terdiam, tak mengatakan apapun. Lalu ia membuka baju seragamnya.
“Eh, apa yang mau kamu lakukan? Jangan dibuka baju seragamnya. Jangan kamu berfikiran untuk ngelakuin hal yang aneh-aneh,” kataku. Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba buka bajunya.
“Harusnya kamu tuh, Fi, yang jangan berfikiran aneh, aku buka baju buat ngebalut luka kamu, tuh liat, darah kamu masih aja keluar terus,” sahutnya. Kemudian ia merobek seragamnya itu.
“Oh gitu, maaf ya berfikiran yang aneh-aneh,” kataku. Lega aku mendengar jawabannya, ehehe.
Saat ia membuka bajunya, aku terkejut dengan bentuk badannya. Itu sangatlah indah, sempurna dan ideal. Aku sempat berfikir, darimana ia bisa mendapatkan tubuh sebagus dan sesempurna itu.
Tapi, disekitar dada dan perutnya itu, banyak sekali luka sayatan, apakah ia tawuran? Atau sering berkelahi? Atau mungkin dia salah satu ketua gangster?
Ah pemikiran ku kemana-mana. Maafkan aku Rafa, sudah berfikiran yang aneh-aneh tentang kamu. Kemudian, ia selesai membalut lukaku dengan potongan seragamnya itu.
“Terimakasih Rafa,” kataku.
“Iya, sama-sama,” sahutnya.
“Kamu sembunyi dulu, dia sudah datang,” lanjutnya. Lalu aku menganggukkan kepalaku untuk menandai kalau aku setuju dengan perkataannya.
Kemudian ia berbalik dan keluar dari toilet. Aku ingin melihat punggung kirinya, namun keadaan saat itu sangatlah gelap, sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas. Lalu dalam sekejap mata, ia menghilang.
Aku mengintip dari pintu keluar toilet, melihat Rafa yang sedang berhadapan dengan iblis itu, itu sangat mengerikan. Melihat tubuhnya yang besar dengan bentuk yang agak aneh, aku merasa kalau Rafa tidak mampu untuk mengalahkan iblis itu.
Author POV
“Maju kau, iblis jelek,” ejek Rafa.
“Berani kamu mengejekku manusia rendahan?” sahut iblis itu.
“Hehe,” tawa Rafa, itu membuat iblis itu marah.
“Kemana perempuan itu, aku hanya punya urusan dengan dia, bukan dengan kamu manusia rendahan,” sahut iblis itu.
“Kalau kamu mau berurusan dengan dia, kamu harus menghadapi aku dulu,” kata Rafa.
“Baiklah, bersiap kau, manusia rendahan,” sahut iblis itu.
Mereka pun mulai bertarung, serangan iblis itu dengan mudah ditangkis oleh Rafa, seolah-olah seperti sedang bermain-main dengan anak kecil, padahal yang sedang ia hadapi adalah iblis tingkat menengah. Dengan pedang yang sudah ia upgrade, Rafa mampu menahan dan mengembalikan serangan iblis itu.
Saat iblis itu mengayunkan pedang ke arah Rafa, dengan segera Rafa menghindar, kecepatan yang dimiliki oleh Rafa tidak bisa terlihat oleh iblis itu, bahkan Safia yang melihat pergerakan Rafa itu seperti kilat.
Kemudian, iblis itu tak bisa melakukan apapun, karena ia tidak bisa melihat celah sedikit pun dari pergerakan Rafa. Semakin cepat Rafa bergerak, semakin banyak luka yang iblis itu dapatkan, tangan, kaki, dan badannya mulai mengucurkan darah. Setelah melukai semua anggota gerak iblis itu, kemudian Rafa berhenti. Tatapannya berbeda dari biasanya, warna bola matanya juga berubah, dan itu adalah warna yang sangat menyeramkan.
“Si..si..siapa kau sebenarnya?” tanya iblis itu, kemudian ia melepaskan kapaknya dan bertekuk lutut dihadapan Rafa.
“Kau bukanlah tandinganku, iblis jelek,” sahut Rafa. Dan dengan seketika, Rafa menyelesaikan semuanya. Ia memotong kepala iblis itu, kemudian iblis itu menghilang, berubah menjadi abu dan menyatu dengan angin yang membawa abu itu pergi. Lalu, langit menjadi cerah kembali, dan mereka kembali ke dunia asal mereka dengan selamat.
Safia POV
“Rafa, kamu gapapa?” tanyaku sambil berlari ke arahnya. Aku menghampirinya agar aku bisa melihat punggung kirinya.
“Aku gapapa Fi,” sahutnya.
“Kita menang,” lanjutnya sambil tersenyum, itu adalah senyum yang indah, yang menandakan sebuah perasaan yang lega akan sesuatu. Kemudian ia memeluk erat aku.
“Kita menang, Fi. Akhirnya aku bisa melindungi mu lagi,” katanya, dan kemudian melepas pelukannya.
‘Ah iya, punggung kirinya,’ kataku dalam hati.
“Ah, Rafa, di punggung kamu itu ada apa?” tanya ku agar ia bisa berbalik. Dan kemudian ia berbalik. Dan benar saja, ada tanda lahir disana. Titik 3 yang membentuk segitiga.
‘Itu artinya, Rafa ini tuh Raen? Raen teman masa kecilku? Yang dulu aku tinggalkan karena mamah dan papah pindah ke kota karena urusan pekerjaan?’ kataku dalam hati.
‘Tapi ga mungkin kan kalo aku langsung bilang kalo dia itu tuh Raen? Pasti nantinya jadi canggung, karena udah lama ga ketemu,’ pikirku.
“Fi, Fi,” kata Rafa yang memanggil-manggil namaku.
“Iya kenapa Fa?” tanyaku.
“Kamu dari tadi dipanggil ga nyaut-nyaut, lagi mikirin apasih?” tanya nya dengan heran.
“Maaf ya Rafa, aku ga sengaja, ehehe, kamu ngomong apa tadi?” sahutku sambil tertawa.
“Kita udah kembali ke dunia kita, tapi, kerusakan yang disebabkan oleh iblis itu akan ada, lihat tembok ruang UKS yang dirusakkan oleh iblis itu,” ucapnya sambil menunjuk ke bangunan UKS yang hancur oleh ulah iblis itu.
“Tapi, Fa, kenapa lapangan stadion ga ada bekas pertarungan kalian?” tanya ku.
“Karena pada saat itu kita sudah berada di dunia paralel, atau bisa disebut dunia yang berada diantara dunia manusia dengan dunia iblis,” sahutnya.
“Oh jadi begitu,” sahutku.
“Kamu ingat, saat kita menuju toilet, langit seketika berubah menjadi gelap?” tanya nya.
“Ingat, padahal masih siang tapi langintnya gelap banget,” sahutku.
“Nah, itu tandanya kita berada di dunia paralel, dunia yang berada diantara dunia manusia dengan dunia iblis, biasanya ada gerbang yang menuju dunia iblis, tapi tadi aku tidak melihat ada tanda-tanda gerbang itu,” sahut Rafa.
“Oh gitu,” ucapku.
“Fi, tangan kamu masih ngeluarin darah itu, kamu gapapa? Deres banget itu Fi,” katanya sambil meraih tanganku.
“Gapapa, Fa,” sahutku, namun kemudian aku merasa kepalaku pusing sekali. Pandangan ku mulai berbayang dan sedikit kabur.
“Fi, bertahanlah, naik ke pundak aku, kita ke ruang UKS, ketemu sama Dokter Dio,” katanya, kemudian ia membawaku ke ruang UKS.
Saat berjalan menuju ruang UKS, disana banyak sekali siswa dan guru yang mengerumuni bangunan UKS yang hancur karena iblis itu.
Aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi saat itu, karena kesadaranku mulai hilang.
To be continued...
Please Leave Your Comment
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda disini untuk membantu Ailee Chan dalam meningkatkan kualitas cerpen dan blog (◍•ᴗ•◍)